Ada perjalanan yang sekadar berpindah tempat. Ada pula perjalanan yang menggerakkan hati.
Saya tak pernah menyangka, di antara ratusan nama yang mendaftar, nama saya terpilih sebagai salah satu peserta Voluntrip by Dompet Dhuafa, di kategori Blogger. Saat membaca pengumuman, tanganku sempat gemetar. Rasanya seperti panggilan, bukan hanya untuk menulis… tapi untuk menyentuh kehidupan. Bersama para content creator lainnya, kami diamanahi mengusung semangat HEARTVENTURE 3H: Help. Heal. Hope.
Perjalanan ini bukan sekadar trip biasa. Di balik rute yang kami tempuh, ada kisah yang perlu disuarakan. Ada wajah-wajah tulus yang butuh didengar. Ada semangat yang ingin saya bawa pulang lewat tulisan, foto, dan video yang akan kubagikan di media sosial. Supaya semakin banyak hati yang mengenal dan mendekat pada kerja-kerja kebaikan Dompet Dhuafa.
Malam Pertama: Hujan, Harap, dan Hati yang Berdebar
Perjalanan dimulai Jumat malam, 16 Mei 2025, dari Pool Rosalia Indah Pasar Minggu. Hujan turun pelan, seperti menyambut kami yang bersemangat meski udara terasa menggigit. Tapi tak ada yang surut. Semua justru datang lebih awal, membawa ransel penuh antusiasme. Hujan itu. seolah doa-doa diam yang menyertai langkah kami.
Duduk di dalam bus ber-AC dingin, bersama wajah-wajah baru (dan beberapa sahabat lama sesama blogger), saya tahu, malam itu akan menjadi gerbang menuju kisah yang tak biasa. Tujuh jam perjalanan tak terasa, karena hati kami sudah lebih dulu tiba di tempat tujuan.
Pagi yang Hangat di Yogyakarta
Fajar menyapa saat kami tiba di Jogja. Setelah berhenti dua kali untuk makan malam dan sholat Subuh, kami singgah di sebuah masjid untuk membersihkan diri. Dan pagi itu, dengan perut kosong yang mulai memanggil, kami disambut oleh aroma soto ayam di Soto Kakijangi, Imogiri Timur, Bantul.
Soto panas, kerupuk renyah, gorengan hangat semua terasa lebih nikmat karena dimakan bersama teman baru dalam suasana penuh syukur. Perut kenyang, hati hangat.
Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dari momen sarapan bersama orang-orang yang baru dikenal tapi terasa seperti saudara. Tawa-tawa kecil, obrolan ringan, dan senyum saling menyapa menciptakan kehangatan yang tak kalah dari semangkuk soto. Rasanya seperti dimulai dari nol, tapi dengan hati yang sudah siap terbuka. Mungkin inilah awal dari perjalanan hati yang sesungguhnya.
DD Farm Pundong: Menyusuri Jejak Kemandirian
Tujuan pertama kami adalah DD Farm Pundong, sebuah peternakan pemberdayaan di Bantul yang menjadi rumah bagi ratusan domba dan kambing. Tapi yang kami kunjungi bukan hanya sekadar kandang ini adalah saksi dari perjalanan ekonomi masyarakat yang perlahan bangkit berkat program kurban Dompet Dhuafa.
Pak Zahron, pimpinan cabang DD Jogja, menyambut kami dengan cerita. Delapan peternak lokal kini menjadi penerima manfaat kurban, mampu berdiri di atas kaki sendiri karena skema pemberdayaan yang diusung Dompet Dhuafa.
Ada dua program utama yang mereka lakukan:
- Charity sebagai respons cepat terhadap isu darurat, kesehatan, dan kemiskinan.
- Empowerment, yaitu pemberdayaan ekonomi berkelanjutan yang membawa dampak sosial, spiritual, dan tentu saja kesejahteraan.
Di sinilah saya merasa: kurban bukan hanya soal daging. Tapi juga tentang memperkuat kehidupan.
Games dan Tawa: Belajar dengan Cara yang Berbeda
Tak hanya mendengar, kami juga belajar langsung melalui kegiatan interaktif. Kami dibagi menjadi empat kelompok dan mengikuti games bertema peternakan:
1. Menimbang Domba
Belajar cara mengangkat domba ke timbangan—siapa sangka ini bisa jadi permainan seru?
2. Menghitung Domba di Kandang
Ternyata kandang punya fungsi berbeda: ada yang untuk penggemukan, ada pula untuk berkembang biak. Kami diajak mengenal keduanya secara langsung.
3. Menggiring Domba
Dengan satu tali, kami belajar menggiring domba dari start ke finish. Lebih susah dari yang dibayangkan, tapi gelak tawa kami tak berhenti.
4. Mencukur Bulu Domba
Mencukur bukan hanya soal estetika, tapi untuk mencegah penyakit. Aktivitas ini membuatku sadar: merawat makhluk hidup pun butuh cinta dan ilmu.
Menginap di Kaki Merapi
Malam harinya, kami dibawa ke Desa Cangkringan, desa binaan Dompet Dhuafa yang terletak di kaki Gunung Merapi. Di sinilah kami benar-benar "pulang" bukan ke rumah, tapi ke pelukan keluarga baru.
Saya dan Hanum, teman influencer, menginap di rumah Mbah Marni di dusun Plosorejo. Sambutan hangat Mbak Marni dan keluarganya membuat kami langsung betah. Padahal baru saja duduk, kami sudah larut dalam obrolan ringan yang mengalir tulus.
Keesokan paginya, kami ikut aktivitas harian mereka: memerah susu kambing. Ternyata kambing pun seperti manusia, jika tidak diperah rutin bisa mengalami mastitis. Ada 30 ekor kambing dan beberapa sapi yang dirawat keluarga ini. Cucu Mbah Marni pun dengan telaten memberi susu untuk bayi kambing berusia 4 hari.
Sore harinya, setelah lava tour dan berkunjung ke Museum Ullen Sentalu, kami menyaksikan kegiatan pemeriksaan kesehatan gratis dan bermain bersama anak-anak desa. Mereka antusias, tertawa lepas, dan pulang dengan hadiah di tangan. Tapi sesungguhnya, sayalah yang merasa paling mendapat hadiah: hati yang penuh oleh cinta tanpa syarat.
Rumah Singgah Buah Hati: Di Sini, Harapan Tak Pernah Mati
Perhentian terakhir kami adalah yang paling menyentuh: kunjungan ke Rumah Singgah Buah Hati, tempat singgah pasien kanker anak dan keluarganya selama masa pengobatan. Di sinilah air mata tak bisa lagi dibendung.
Anak-anak ini, dengan wajah polos dan kepala yang mungkin tak lagi ditumbuhi rambut, menyambut kami dengan senyum. Kami melukis tote bag bersama, tertawa, dan sesekali hening ketika salah satu dari mereka bertanya, “Nanti kakak datang lagi ya?”
Momen itu pecah ketika Box of Happiness dari Dompet Dhuafa dibagikan. Setiap kotak berisi hadiah yang dipersonalisasi sesuai warna kesukaan dan keinginan masing-masing anak. Melihat seorang anak perempuan memeluk tas barunya dengan mata berkaca-kaca. Ia berbisik pelan, “Ini warna ungu, warna favorit aku…”
Saya hanya bisa melihatnya, menahan air mata, lalu berdoa dalam hati agar Tuhan memberinya kekuatan dan kesembuhan.
Penutup: Yang Pulang Tak Sama dengan yang Berangkat
Dua hari di Yogyakarta, rasanya seperti perjalanan pulang ke dalam diri sendiri. Saya datang sebagai seorang blogger. Tapi saya pulang sebagai seseorang yang lebih utuh, yang mengerti bahwa berbagi bukan tentang siapa yang lebih mampu. Tapi tentang siapa yang bersedia membuka hati.
Dompet Dhuafa menunjukkan pada kami bahwa kebaikan itu bisa sederhana. Tapi ketika dilakukan bersama, ia menjelma jadi gelombang yang mampu menyapu kesedihan dan menggantinya dengan harapan.
Help. Heal. Hope.
Tiga kata itu kini hidup dalam pikiran. Saya ingin membantu, dengan cara saya. Menyembuhkan, lewat kata-kata. Dan membawa harapan, lewat cerita.
Yogyakarta mungkin hanya satu titik di peta. Tapi bagiku, ia adalah sebuah titik balik. Titik di mana saya belajar, bahwa perjalanan terbaik adalah ketika kita tidak hanya membawa pulang oleh-oleh… tapi membawa pulang rasa.
“Karena kebaikan yang dilakukan hari ini, bisa jadi doa yang menjelma berkah di hari esok.”
Terima kasih, Dompet Dhuafa. Terima kasih, teman-teman HEARTVENTURE.
Terima kasih, untuk perjalanan yang bukan hanya menyentuh tanah… tapi juga menyentuh jiwa.
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan berkomentar. Mohon maaf semua komentar di moderasi ya