Menyemai Harapan di PARARA Mini Festival 2025

Kalau ditanya soal cita-cita, jarang sekali kita mendengar jawaban: “Aku mau jadi petani.” Padahal, masa depan pangan kita justru bergantung pada keberanian generasi muda untuk kembali melihat tanah dan hasil bumi sebagai sumber kekuatan.




Tanah memberi makan, air memberi hidup, benih memberi harapan. Namun, di tengah hiruk pikuk zaman digital, siapa yang masih mau merawatnya? Pertanyaan itu terus terngiang di kepala saya saat melangkah masuk ke Taman Literasi Martha C. Tiahahu, Blok M, Jakarta Selatan, pada hari Jumat, 12 September 2025. Di sanalah PARARA Mini Festival 2025 digelar sebuah ruang perjumpaan yang hangat, di mana isu pangan lokal, keberlanjutan, dan kearifan budaya berpadu dalam bentuk pameran, workshop, demo masak, hingga talkshow inspiratif.

Dengan mengusung tema #CareEatLove, festival ini dirancang sebagai ruang perayaan pangan lokal, tradisi nusantara, serta produk komunitas adat yang bertujuan mendekatkan masyarakat—khususnya generasi muda dengan pangan sehat, berkelanjutan, dan sarat makna.

Bagi saya, festival ini bukan sekadar acara. Ia adalah pengingat, bahwa Indonesia dengan segala keberlimpahannya hanya akan bertahan jika generasi mudanya berani menjaga, mencintai, dan merawatnya.

Mengenal PARARA: Gerakan Kolektif untuk Pangan Lestari

Sebelum bercerita lebih jauh, mari kita kenal dulu apa itu PARARA. Singkatan dari Panen Raya Nusantara, PARARA merupakan gerakan bersama yang digawangi oleh 30 organisasi masyarakat sipil dan lebih dari 100 komunitas produsen. Mereka bergerak untuk mempromosikan produk komunitas yang adil, lestari, dan berpijak pada kearifan lokal.




Tagline mereka “lokal, sehat, adil, lestari” bukan sekadar kata indah, tapi prinsip yang dihidupi. Prinsip yang, saya rasa, semakin penting di tengah derasnya arus pangan instan dan budaya konsumsi cepat saji.


Talkshow Literasi Pangan Lokal: “Generasi Muda dan Transformasi Sistem Pangan Berkelanjutan”

Hari pertama festival, saya memilih mengikuti talkshow bertema literasi pangan lokal. Topiknya langsung menyentuh inti keresahan saya: bagaimana generasi muda bisa terlibat dalam membangun sistem pangan berkelanjutan?




Beberapa pembicara hadir dengan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi.

Febriana – Aliansi Organik Indonesia (AOE)

Dari Febriana saya belajar tentang pentingnya membangun ekosistem lokal yang mendukung pertanian organik. Ia mencontohkan beberapa inisiatif inspiratif:
  • Pasar Sehat Salatiga yang menghubungkan warung hijau dengan konsumen lokal.
  • Komunitas di Surabaya yang fokus pada konsumsi pangan lokal.
  • Inovasi mengolah singkong menjadi tepung mokaf, sorgum menjadi kue kering, hingga puding dan bolu berbasis bahan pangan lokal.
Pesannya jelas: pangan lokal tidak kalah menarik jika kita mau berinovasi.

Ari Muhammad Arief – WWF Indonesia

Dari WWF, Ari membuka mata saya tentang kaitan erat pertanian dengan perubahan iklim. Ia menyebutkan data yang cukup mencemaskan: produksi padi di Jawa dan Madura bisa turun 10–17% akibat dampak iklim. Sementara itu, minat generasi muda untuk menjadi petani masih sangat rendah.

Padahal, kata Ari, ada strategi climate smart agriculture yang bisa membuat pertanian tetap produktif sekaligus adaptif terhadap perubahan iklim. Namun, strategi ini tidak bisa dijalankan sendirian. Butuh kolaborasi: petani, perusahaan, bank, lembaga asuransi, hingga BMKG.

Ahmad Zaenal – Yayasan Kehati

Sementara itu, Ahmad Zaenal dari Yayasan Kehati menekankan pentingnya memberi ruang partisipasi bermakna bagi anak muda. Bukan sekadar diajak “ikut-ikut”, tapi betul-betul didengarkan pendapat dan idenya.

Ia menyinggung istilah “bunga partisipasi”, sebuah pendekatan yang mengajak anak muda bebas berekspresi, dipercaya, dan diberi kesempatan membuat keputusan. Dari situlah, kesadaran mereka terhadap pentingnya pangan lokal bisa tumbuh secara organik.


Dari Rumah Tangga, dari Hal Sederhana

Dari seluruh diskusi itu, saya menangkap benang merah: perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil.
Menanam cabai di pekarangan, mencoba belanja di pasar lokal, atau sekadar belajar mengenal jenis-jenis pangan tradisional semua bisa jadi titik awal. Memang, kesadaran itu mahal. Tapi seperti yang disampaikan salah satu narasumber, kita punya banyak sumber untuk belajar, berkolaborasi, dan memulai dari lingkaran terkecil: rumah tangga.

Saya jadi teringat kata-kata bijak: “Jangan menunggu perubahan datang dari luar, mulailah dari piringmu sendiri.”


Workshop Literasi Kain: Merajut Identitas Lewat Wastra

Selesai talkshow, saya beranjak ke kegiatan berikutnya: Workshop Literasi Kain dengan tema diskusi buku Puan Maestro dan kreasi fashion Gen Z bersama wastra Indonesia.

Ruangannya penuh warna. Banyak peserta dengan bangga mengenakan tenun, songket, atau batik. Saya pun tidak mau ketinggalan, hari itu saya mengenakan selembar tenun yang menjadi kebanggaan keluarga.
Para narasumber—Ibu Adinindyah (Perkumpulan Teras Mitra), Ibu Poppy Barkah, dan Nana Lystiani (Perkumpulan Wastra Indonesia) berbagi tentang bagaimana wastra bukan sekadar kain, melainkan identitas.




Saya terkesan dengan cerita Weaving for Life dari Timor Tengah Utara. Anak-anak muda di sana belajar menenun sejak enam tahun terakhir. Benang yang mereka gunakan berasal dari kapas yang ditanam di pekarangan sendiri. Dari menanam, memintal, hingga menenun, semuanya dilakukan manual.

Ada satu nama yang disebut berulang kali: Mama Yofita, seorang penggerak yang menghapus stigma bahwa menenun hanyalah pekerjaan rumah tangga tanpa nilai ekonomi. Justru sebaliknya, tenun bisa menjadi sumber penghidupan yang bermartabat.




Di sesi akhir, anak muda diajak berkreasi dengan wastra. Saya melihat bagaimana selembar kain bisa diubah menjadi gaya fashion kekinian tanpa kehilangan makna tradisinya. Inilah bukti bahwa budaya bisa lestari jika kita mau menyapa generasi muda dengan bahasa mereka.


Refleksi Pribadi: Harapan di Tengah Hiruk Pikuk

Pulang dari PARARA Mini Festival 2025, hati saya penuh dengan rasa hangat. Ada semacam harapan baru yang tumbuh: bahwa isu pangan, lingkungan, dan budaya tidak akan berhenti di generasi ini, selama ada ruang belajar dan kolaborasi seperti PARARA.

Saya membayangkan, bagaimana jika lebih banyak anak muda melihat pertanian bukan sekadar “kerja kasar”, tetapi profesi mulia yang menyelamatkan masa depan bangsa? Bagaimana jika tenun dan kain tradisional tidak lagi dianggap kuno, melainkan identitas yang membanggakan?

Semua itu mungkin, asal kita berani memulai. Dari langkah kecil, dari pilihan sederhana di meja makan, dari cara kita berpakaian, hingga cara kita bercerita.

Karena pada akhirnya, tanah tetap memberi makan, air tetap memberi hidup, dan benih tetap memberi harapan. Tinggal kita, generasi hari ini, apakah mau merawatnya atau membiarkannya layu.

Saatnya Generasi Muda Turun Tangan

Kita tidak bisa menunggu orang lain menjaga bumi, menjaga pangan, dan menjaga budaya. Generasi kita sendiri yang harus turun tangan. Tidak perlu langsung menjadi petani besar atau perajin tenun ulung. Mulailah dari hal sederhana: mencoba menanam sayuran di rumah, membeli makanan lokal, memakai wastra Nusantara dengan bangga, atau sekadar ikut menyuarakan pentingnya keberlanjutan di media sosial.




PARARA Mini Festival 2025 membuktikan bahwa ruang untuk belajar dan beraksi itu ada. Tinggal kita, mau membuka diri atau tidak.

Jadi, kalau suatu hari nanti ada yang bertanya lagi tentang cita-cita, mungkin sudah waktunya ada yang dengan lantang menjawab:
 
“Aku mau jadi bagian dari generasi yang menjaga tanah, air, benih, dan budaya—karena di sanalah masa depan kita berada.”


Post a Comment

0 Comments